Di Atas Perosotan
Taman kanak-kanak di depan rumah.
Setelah beranjak dewasa, aku tidak pernah benar-benar mampu mengingat
mengapa aku berada di sana pada pagi itu. Mungkin karena sekolahku
dimulai menjelang tengah hari atau mungkin hari itu adalah hari libur.
Cuaca cerah. Langit menyampaikan pesan yang kutangkap sebagai spektrum warna biru muda. Diiringi awan-awan putih tipis.
Aku, seorang anak yang belum beranjak
dari skema bahwa matahari selalu berpasangan dengan siang dan bulan
selalu berpasangan dengan malam begitu takjub pada perbedaan di pagi
itu. Bulan kelabu pucat terlihat ditengah ke biruan luas. Begitu baru
bagiku. Isi kepala anak kecil coba mengaitkan pengetahuan baru dengan
yang sudah dipunyai untuk menjelaskan anomali yang ia temui. Mungkin
karena ini adalah negara tropis, pikirku dulu.
Aku tidak sendiri pada pagi itu. Ada
seorang teman. Salah satu dari kami—aku lupa siapa—merebahkan diri di
perosotan berbadan semen yang memang tidak terlalu licin. Kami menatap
jauh ke atas. Aku tidak pernah benar-benar mampu mengingat mengapa kami
berada di sana, begitu juga dengan apa yang kami bicarakan. Yang aku
ingat hanyalah namanya serta fakta bahwa aku tidak berteman dekat
dengannya,lalu bahwa ia adalah pemeluk agama Hindu dan berasal dari
Bali, lalu aku juga ingat bahwa ia memiliki seorang adik. Tapi entah
mengapa, pagi hari di taman kanak-kanak itu terus menjadi satu dari
sedikit ingatan episodik yang mudah kuakses hingga sekarang walaupun tak
tertampil secara gamblang.
Ada kebahagiaan yang subtle* namun berkesan.
Lalu hari ini aku bertanya-tanya. Layakkah ia disimpan?
*Aku kesulitan mencari padanan kata yang tepat dalam Bahasa Indonesia, bisa dibantu?
lucu yah hahaha...gambare mantep
BalasHapus