“If you repeated something over and over again it loses its meaning”,
Apakah hal itu benar-benar terjadi atau hanya omong kosong dari orang yang bosan saja?
Coba saja. Cobalah ucapkan kata favoritmu
sebanyak dua puluh kali atau lebih dan rasakan apa yang terjadi. Saya
akan menggunakan kata ‘langit’ sebagai contohnya.
“Langit langit langit langit
langit langit langit langit langit langit langit langit langit langit
langit langit langit langit langit langit langit …”
Cobalah rasakan sendiri. Di pengucapan
kesekian kau pasti mulai merasa aneh. Mungkin bertanya, “Mengapa disebut
langit ya?” atau “Mengapa kita mengucapkan langit?”, seakan ‘langit’
adalah sebuah kata yang asing, seakan ia terlepas dari makna yang kau
ketahui selama ini. Sebuah kata yang kosong. Pada derajat tertentu,
kekosongan makna itu akan membuatmu bingung atau bahkan menimbulkan
kengerian tersendiri.
Fenomena tersebut ternyata sudah menjadi
bahan kajian para peneliti sejak tahun 1960 dan pada tahun 1962, Leon
Jakobovits mengemukakan frasa semantic satiation sebagai nama dari fenomena tersebut dalam disertasi doktornya di McGill University, Montreal, Canada. Semantic satiation itu sendiri didefinisikan sebagai pengalaman
subyektif akan hilangnya makna kata sebagai hasil dari inspeksi
(pemeriksaan) dan repetisi (pengulangan) kata itu secara berkepanjangan.
Salah satu penjelasan terhadap fenomena ini didasarkan pada pendekatan persepsi-Gestalt.
Menurut pandangan tersebut, pengulangan pengucapan kata selalu diikuti
dengan representasi yang dihubungkan dengan respon berupa identifikasi
arti kata. Namun pada saat yang bersamaan, terjadi inhibisi
(penghambatan) reaktif yang terus menurunkan intensitas respon terhadap
pengucapan kata seiring dengan pengulangan yang terjadi. Hingga pada
akhirnya, respon (yang bekerja untuk memaknai kata) pun terhenti pada
jumlah pengulangan tertentu dan membuat seakan-akan kata tersebut
kehilangan maknanya, meski hanya sementara.
Selain itu, ada pula penjelasan lain
tentang fenomena ini dari sudut pandang neuropsikologi, walaupun tidak
memiliki perbedaan yang signifikan. Jadi, pengulangan kata atau
pengulangan verbal merangsang pola saraf spesifik dalam korteks yang
berkorespondensi dengan arti kata. Pengulangan yang cepat membuat
aktivitas sensorimotor feriferal dan aktivasi saraf pusat bekerja terus
menerus tanpa henti lalu menyebabkan reaksi inhibisi yang mengurangi
korespondesi tersebut setiap sebuah kata diucapkan berulang.
Sederhananya, kita bisa menganalogikan
sistem saraf sebagai pelayan di sebuah restoran. Pengucapan kata adalah
pesanan dari pelanggan dan pemaknaan kata adalah makanan yang dipesan.
Bayangkan jika sang pelayan harus merespon pesanan secara berulang kali
dalam waktu yang singkat, tentunya ia akan kewalahan lalu tak lagi mampu
mengantarkan pesanan. Begitu juga otak kita. Selain itu, semantic satiation
juga bisa dianalogikan sebagai metode filter spam yang dimiliki oleh
otak. Jika terlalu banyak pesan tak berguna masuk, maka secara otomatis
akan dihalangi atau diteruskan ke tempat sampah.
Seperti kata yang lainnya, mungkin ‘cinta’ juga akan kehilangan maknanya jika terlalu sering diucapkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar